loading...
SELAMA 10 tahun menjadi Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghasilkan lebih dari 40 lagu yang dikumpulkan dalam lima album.
Pop yang pernah disebut cengeng oleh Harmoko. Istilah anak sekarang, pop menye-menye, pop manja, yang berpanjang-panjang berbusa-busa cuma untuk menyampaikan satu perkara: betapa besarnya rasa cinta.
Entah lantaran pengaruh lagu-lagu yang ditulisnya, kemelodramatisan dan kemelankolisan SBY terbawa-bawa ke banyak hal. Misalnya, SBY berdoa di Twitter.
Padahal sebagai seorang jenderal, politisi senior dan presiden dua periode, sangat kecil kemungkinan SBY tidak tahu bahwa Tuhan tak punya akun Twitter sehingga tak dapat me-retweet apalagi menuliskan balasan lewat Direct Messages.
Baca: Sama Seperti Ahok, Ridwan Kamil Segera Bongkar Semua Bangunan yang Sebabkan Banjir
Dia juga sering curhat ke mana-mana. Mengeluh ke mana-mana.
Saat melakukan tur keliling Jawa tempo hari, SBY melontarkan banyak kritik kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan secara menakjubkan bilang bahwa dirinya dirindukan. "Banyak yang rindu dan bilang, I want SBY back."
Hari-hari belakangan ini, curhatan dan keluhan SBY melesat-lesat lagi. Gelombang kritik mengalir makin deras darinya. Di koran-koran, majalah, di radio, di televisi, SBY berbicara.
Terutama menyangkut selentingan yang menyebut dirinya sebagai satu di antara pihak yang berada di belakang aksi unjukrasa Anti Ahok (Basuki Tjahaja Purnama).
Namun ajaibnya, SBY yang curhat, mengeluh, dan melontar kritik, Jokowi malah menemui Prabowo Subiyanto.
Malah sampai dua kali. Kemudian berturut-turut Megawati
Soekarnoputri, Surya Paloh, Setya Novanto, dan sejumlah ketua umum
partai politik. Tapi tidak SBY.
Baca: SBY Mengaku Hanya Dapat Salinan TPF Munir, Bukan Dokumen Asli
Undangan Jokowi, paling tidak sampai sejauh ini, belum pernah sampai di Cikeas. Jokowi pun hanya tersenyum tiap kali ada wartawan yang iseng menanyakan kapan dia akan bertemu SBY.
Entah berhubungan entah tidak, curhat SBY berlanjut, dan makin dahsyat pula. Kali ini dia tak sekedar omong. Dia menuliskannya dalam bentuk artikel.
SBY mengawali tulisannya dengan paparan perihal kasus Ahok.
Kasus yang menurut dia 'semula kecil' tapi jadi besar karena penanganan pemerintah yang tidak tepat. Dalam situasi yang acak-kadut seperti ini, SBY menyodorkan dirinya untuk membantu.
"Secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan menjadi baik jika saya ikut menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin kita, Presiden Jokowi, agar beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat ini. Namun, lebih dari tiga minggu ini memang saya memilih diam."
Kalimat-kalimat yang kontradiktif. Ingin membantu namun justru memilih diam. Kenapa? SBY punya alasan. Yakni menghindari fitnah.
Baca: Pesan JK ke Ahok: Jangan Banyak Omong
"SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya diserang dan "dihabisi" tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang berkembang saat ini, saya pikirkan tak baik jika saya berdiam diri."
Lagi-lagi kalimat yang kontradiktif. Kalimat yang seolah menunjukkan keragu-raguan. Mau, tidak mau, lalu mau.
Tapi sudahlah. Soal ini tidak perlu diperpanjang. Toh, kita semua sudah sama-sama tahu, sudah sama-sama paham dan mahfum, bahwa keragu-raguan dan SBY ibarat dua sisi mata uang.
Lebih baik kita periksa saja pandangan dan saran-saran beliau. Siapa tahu memang ada yang betul- betul dapat menjadi solusi persoalan yang sedang dihadapi negara ini.
Artikel yang ditulis SBY adalah artikel yang panjang. Berikut spasi mencapai 14.472 character. Terdiri dari 2.015 kata, 172 baris. dan 20 paragraf.
Baca: Terungkap Alasan Ahok Tak Pidato Usai Ambil Nomor Urut
Namun bergerak dari baris ke baris, dari paragraf ke paragraf, harapan untuk menemukan solusi semakin kabur.
Sebaliknya, dari baris ke baris, paragraf ke paragraf, yang menguat justru klaim-klaim SBY.
Lebih tepatnya pembandingan-pembandingan, bahwa pemerintahannya lebih baik dari pemerintahan Jokowi.
Termasuk soal reaksi dalam menyikapi isu. "Saya jadi ingat dulu ketika ada "Gerakan Cabut Mandat SBY" di era kepresidenan saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan makar. Saya tenang dan tidak panik."
Lalu bagaimana sikap Jokowi? Beberapa jam setelah artikel SBY tayang di satu media dalam jaringan (daring), seorang wartawan bertanya apakah Jokowi membaca artikel itu. Dan Jokowi, dengan cepat menjawab, "nggak".
Sekali lagi, 'nggak', atau 'tidak'. Bukan 'belum', yang bisa dimaknai sebagai 'belum membaca' tapi 'akan' atau 'terbuka kemungkinan' untuk membaca. Barangkali menunggu waktu luang atau momentum-momentum tertentu. Sedangkan kata 'nggak' atau 'tidak' pengertiannya final.
Sampai di sini muncul pertanyaan. Apakah artikel SBY memang tidak penting atau tidak menarik sehingga Jokowi memutuskan untuk tidak membacanya?
Ada banyak kemungkinan dan --tentu saja-- hanya Jokowi yang bisa menjawab. Bisa jadi Jokowi memang tidak melihat hal apapun yang penting dari paparan panjang lebar SBY itu. Bisa jadi dia menganggap artikel tersebut sebagai curhat biasa saja.
Tapi di antara kemungkinan-kemungkinan tersebut, satu kemungkinan barangkali bisa dicuatkan.
Baca: SBY Mengaku Hanya Dapat Salinan TPF Munir, Bukan Dokumen Asli
Undangan Jokowi, paling tidak sampai sejauh ini, belum pernah sampai di Cikeas. Jokowi pun hanya tersenyum tiap kali ada wartawan yang iseng menanyakan kapan dia akan bertemu SBY.
Entah berhubungan entah tidak, curhat SBY berlanjut, dan makin dahsyat pula. Kali ini dia tak sekedar omong. Dia menuliskannya dalam bentuk artikel.
SBY mengawali tulisannya dengan paparan perihal kasus Ahok.
Kasus yang menurut dia 'semula kecil' tapi jadi besar karena penanganan pemerintah yang tidak tepat. Dalam situasi yang acak-kadut seperti ini, SBY menyodorkan dirinya untuk membantu.
"Secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan menjadi baik jika saya ikut menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin kita, Presiden Jokowi, agar beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat ini. Namun, lebih dari tiga minggu ini memang saya memilih diam."
Kalimat-kalimat yang kontradiktif. Ingin membantu namun justru memilih diam. Kenapa? SBY punya alasan. Yakni menghindari fitnah.
Baca: Pesan JK ke Ahok: Jangan Banyak Omong
"SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya diserang dan "dihabisi" tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang berkembang saat ini, saya pikirkan tak baik jika saya berdiam diri."
Lagi-lagi kalimat yang kontradiktif. Kalimat yang seolah menunjukkan keragu-raguan. Mau, tidak mau, lalu mau.
Tapi sudahlah. Soal ini tidak perlu diperpanjang. Toh, kita semua sudah sama-sama tahu, sudah sama-sama paham dan mahfum, bahwa keragu-raguan dan SBY ibarat dua sisi mata uang.
Lebih baik kita periksa saja pandangan dan saran-saran beliau. Siapa tahu memang ada yang betul- betul dapat menjadi solusi persoalan yang sedang dihadapi negara ini.
Artikel yang ditulis SBY adalah artikel yang panjang. Berikut spasi mencapai 14.472 character. Terdiri dari 2.015 kata, 172 baris. dan 20 paragraf.
Baca: Terungkap Alasan Ahok Tak Pidato Usai Ambil Nomor Urut
Namun bergerak dari baris ke baris, dari paragraf ke paragraf, harapan untuk menemukan solusi semakin kabur.
Sebaliknya, dari baris ke baris, paragraf ke paragraf, yang menguat justru klaim-klaim SBY.
Lebih tepatnya pembandingan-pembandingan, bahwa pemerintahannya lebih baik dari pemerintahan Jokowi.
Termasuk soal reaksi dalam menyikapi isu. "Saya jadi ingat dulu ketika ada "Gerakan Cabut Mandat SBY" di era kepresidenan saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan makar. Saya tenang dan tidak panik."
Lalu bagaimana sikap Jokowi? Beberapa jam setelah artikel SBY tayang di satu media dalam jaringan (daring), seorang wartawan bertanya apakah Jokowi membaca artikel itu. Dan Jokowi, dengan cepat menjawab, "nggak".
Sekali lagi, 'nggak', atau 'tidak'. Bukan 'belum', yang bisa dimaknai sebagai 'belum membaca' tapi 'akan' atau 'terbuka kemungkinan' untuk membaca. Barangkali menunggu waktu luang atau momentum-momentum tertentu. Sedangkan kata 'nggak' atau 'tidak' pengertiannya final.
Sampai di sini muncul pertanyaan. Apakah artikel SBY memang tidak penting atau tidak menarik sehingga Jokowi memutuskan untuk tidak membacanya?
Ada banyak kemungkinan dan --tentu saja-- hanya Jokowi yang bisa menjawab. Bisa jadi Jokowi memang tidak melihat hal apapun yang penting dari paparan panjang lebar SBY itu. Bisa jadi dia menganggap artikel tersebut sebagai curhat biasa saja.
Tapi di antara kemungkinan-kemungkinan tersebut, satu kemungkinan barangkali bisa dicuatkan.
Bahwa SBY barangkali lupa bahwa Jokowi bukan penggemar lagu pop menye-menye. Jokowi adalah penggemar rock.
Baca: Ahok-Djarot: Salam Dua Jari, Salam Dua Periode
Musik cadas dan riuh, dengan tempo cepat dan syair lagu yang serba lugas dan lebih berterus terang, tidak berpanjang-panjang, tidak berbunga-bunga, tidak berputar-putar sekadar untuk curhat bilang cinta dan rindu. Tidak menye-menye. Tidak alay.
Jadi begitulah, Pak SBY. Saya juga penggemar rock seperti Jokowi. Bedanya, saya membaca tulisan Anda.
Saya membacanya dari kata pertama sampai kata ke 2.015. Tapi maaf, Pak, dari sekian panjang rangkaian kata yang Anda tuliskan, saya memang cuma tertarik pada kalimat penutupnya. Tidak ada gading yang tak retak.
Pepatah yang "pasaran" saja, sebenarnya. Pepatah yang anak SD sekalipun sudah menghapalnya di luar kepala.
Akan tetapi, setidaknya, dengan menulis pepatah ini Anda telah membuat semacam perimbangan bagi dua "kalimat bijak" berbahasa Inggris yang Anda kutip di awal tulisan.
Pun demikian, sebenarnya Anda bisa menutup tulisan ini dengan cara yang lebih menarik dan aduhai. Anda hanya perlu menambahkan dua rangkai kalimat. "Maka atas nama keluarga besar gajah saya mohon maaf . Cuci tangan sampai bersih, cukup sekian terima kasih."
loading...
Comments
Post a Comment