loading...
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam tindakan kekerasan
terhadap jurnalis dalam demonstrasi 2 Desember 2016. Penyerangan terjadi
terhadap jurnalis Metro TV oleh demonstran dan terhadap jurnalis RCTI
oleh anggota kepolisian.
Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim mengatakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas peliputan tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun. “Jurnalis bekerja dilindungi Undang-Undang Pers,” kata dia seperti dilansir dalam keterangan tertulis, Sabtu, 3 Desember 2016.
Selain bisa dijerat dengan pasal pidana KUHP, intimidasi dan kekerasan tersebut bisa dijerat Pasal 18 Undang-Undang Pers. Mereka melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik. Pelanggar diancam hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
Berdasarkan keterangan yang dihimpun AJI Jakarta, jurnalis Metro TV yang diintimidasi oleh massa demo 212 adalah seorang juru kamera bernama Shinta Novita dan dua reporter yaitu Aftian Siswoyo dan Rifai Pamone. Shinta dan Aftian diintimidasi di halaman Masjid Istiqlal sementara Rifai diintimidasi di depan Gedung Sapta Pesona.
Intimidasi terhadap Shinta dan Aftian terjadi sekitar pukul 15.00 saat akan mempersiapkan siaran langsung dari depan Istiqlal pasca bubasnya aksi 212 di Monumen Nasional. Aftian sudah mengenakan seragam dan bersiap di depan kamera cek komposisi. Saat itu di pinggir pagar ada satu orang yang menghujat Metro TV. “Teriakannya cukup memancing beberapa orang untuk ikut menghujat kedua jurnalis,” kata Nurhasim.
Tak selang beberapa lama massa pun berkumpul mengepung keduanya sambil mencaci. Rain cover kamera Metro TV pun dikibas oleh mereka sehingga menutupi lensa kamera beberapa kali. Mereka memegang bagian depan kamera dan ditutupi dengan tangan. Demonstran juga menghujat Aftian dengan kata-kata yang tak pantas.
Melihat keadaan yang tidak kondusif, aparat keamanan kemudian mengevakuasi kedua jurnalis untuk menjauh dari lokasi. Sejumlah orang berupaya mengejar keduanya. “Saat dievakuasi ada yang memukul leher belakang Aftian yang membuatnya sempoyongan,” kata Nurhasim.
Serangan serupa menimpa Rifai Pamone di depan Gedung Sapta Pesona antara pukul 8-9 pagi saat siaran langsung untuk program Breaking News. Selain Metro TV dihujat oleh demonstran, badan Rifai juga didorong dan disiram air oleh massa. Tangannya ditarik, kakinya ditendang, dan sejumlah orang mengerumuninya.
Baca: Demi Keadilan dan Kebenaran Antasari Azhar agar Bongkar Kasus yang Menimpanya
Kekerasan itu terjadi setelah massa mencoba mengusirnya dari lokasi liputan. Namun Rifai tidak mungkin menghentikan siaran langsung tersebut. Bagi Rifai, kasus kekerasan tersebut kali kedua yang menimpanya dalam sebulan terakhir. Saat meliput unjuk rasa pada 4 November lalu, dia juga menjadi sasaran kekerasan saat sedang siarang langsung di Masjid Istiqlal. Kala itu dia dikejar, ditendang, dan diludahi oleh demonstran.
Selain di Jakarta, kamerawan RCTI Wara juga diintimidasi oleh anggota Brigade Mobil yang menjaga gerbang Markas Komando Brimob Depok, Jumat malam pukul 21.00. Dia mau meliput penangkapan aktivis tersangka perencanaan makar di sana. Polisi sempat menarik dan mengambil kamera yang menyorot mereka. Walau kamera sudah dikembalikan, Nurhasim mengatakan tindakan polisi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Berdasarkan fakta tersebut, Nurhasim mengatakan kebebasan pers diancam oleh kelompok masyarakat dan anggota kepolisian yang tidak senang terhadap media dan liputan media. “Ancaman tersebut tidak bisa dibiarkan dan didiamkan,” katanya.
Dalam negara demokrasi, jurnalis dilindungi oleh UU Pers saat bekerja, mulai mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan informasi yang didapat kepada publik. Bila jurnalis diintimidasi dan dihalang-halangi saat liputan, hak masyarakat untuk memperoleh berita yang benar dan akurat terhambat. Bila ada masalah dengan pemberitaan disediakan ruang beradab berupa hak jawab, koreksi, dan pengaduan ke Dewan Pers.
Kekerasan itu terjadi setelah massa mencoba mengusirnya dari lokasi liputan. Namun Rifai tidak mungkin menghentikan siaran langsung tersebut. Bagi Rifai, kasus kekerasan tersebut kali kedua yang menimpanya dalam sebulan terakhir. Saat meliput unjuk rasa pada 4 November lalu, dia juga menjadi sasaran kekerasan saat sedang siarang langsung di Masjid Istiqlal. Kala itu dia dikejar, ditendang, dan diludahi oleh demonstran.
Selain di Jakarta, kamerawan RCTI Wara juga diintimidasi oleh anggota Brigade Mobil yang menjaga gerbang Markas Komando Brimob Depok, Jumat malam pukul 21.00. Dia mau meliput penangkapan aktivis tersangka perencanaan makar di sana. Polisi sempat menarik dan mengambil kamera yang menyorot mereka. Walau kamera sudah dikembalikan, Nurhasim mengatakan tindakan polisi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Berdasarkan fakta tersebut, Nurhasim mengatakan kebebasan pers diancam oleh kelompok masyarakat dan anggota kepolisian yang tidak senang terhadap media dan liputan media. “Ancaman tersebut tidak bisa dibiarkan dan didiamkan,” katanya.
Dalam negara demokrasi, jurnalis dilindungi oleh UU Pers saat bekerja, mulai mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan informasi yang didapat kepada publik. Bila jurnalis diintimidasi dan dihalang-halangi saat liputan, hak masyarakat untuk memperoleh berita yang benar dan akurat terhambat. Bila ada masalah dengan pemberitaan disediakan ruang beradab berupa hak jawab, koreksi, dan pengaduan ke Dewan Pers.
AJI Jakarta juga menghimbau televisi secara kelembagaan untuk tetap profesional, berpegang teguh pada kode etik jurnalistik, dan independen menyiarkan berita. Jurnalis di lapangan pun perlu waspada saat liputan. “Media televisi kami himbau juga memperhatikan keamanan dan keselamatan jurnalis di lapangan yang sedang meliput unjuk rasa yang berpotensi konflik. Televisi jangan hanya mau beritanya, tapi tidak mau memperhatikan keselamatan jurnalisnya yang mencari berita,” kata Nurhasim.
Manajemen Metro TV dan RCTI didorong untuk melaporkan kasus intimidasi dan kekerasan tersebut kepada kepolisian agar pelaku diadili. Selama ini, kekerasan terhadap jurnalis kerap berulang karena korban enggan melaporkan kasusnya ke kepolisian dan pada saat yang sama laporan yang sudah masuk jarang ditindaklanjuti oleh kepolisian.
AJI Jakarta juga mendorong kepolisian untuk segera mengusut kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dan membawa pelakunya sampai pengadilan. Proses hukum ini penting agar ada pembelajaran bagi masyarakat bahwa mengintimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis adalah melawan hukum. AJI Jakarta juga mendesak Dewan Pers dan KPI untuk lebih ketat mengawasi dan menegur stasiun televisi yang beritanya dinilai menabrak kode etik dan pedoman penyiaran.
loading...
Comments
Post a Comment