loading...

Video NAWACITA JOKOWI

NASDEM Deklarasi JOKOWI Presiden 2019-2024

Pesan Jokowi Untuk Relawan Projo Hadapi Tahun Politik

Dunia Akui Kinerja AHOK

PRESIDEN JOKOWI Jadi Imam Shalat PRESIDEN AFGHANISTAN

Video TUHAN TIDAK TIDUR Untuk AHOK

loading...

Ini 3 Alasan AHOK Akan Lolos

loading...

Kejaksaan Agung akan mengumumkan bahwa berkas perkara dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, lengkap alias P21 pada hari ini, Rabu, 30 November 2016, dua hari menjelang demo "Aksi Bela Islam III" pada 2 Desember.


Tim jaksa penuntut umum menyatakan berkas Ahok telah memenuhi syarat formil dan materiil, sehingga dapat masuk ke tahap selanjutnya, yakni penyerahan tersangka dan barang bukti. "Kami mencoba meminimalkan waktu dan mengoptimalkan kinerja karena banyak imbauan agar lebih cepat lebih baik diserahkan ke pengadilan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Muhammad Rum (Koran Tempo, 30 November 2016).

Entah mengapa kejaksaan harus buru-buru mengumumkan kasus ini. Lebih baik syarat-syaratnya diperkuat dahulu sehingga kasus ini benar-benar matang ketika hendak disidangkan.

Pengacara Ahok, Sirra Prayuna, mempertanyakan sikap kejaksaan yang terkesan terburu-buru. Ia bingung melihat sikap jaksa tersebut, apakah murni pertimbangan penegakan hukum atau ada tekanan politik di baliknya. "Saya puluhan tahun bekerja sebagai praktisi hukum, tapi baru pertama kali menghadapi kasus hukum sebegitu cepatnya," ujar dia.

Tapi, baiklah, bila memang perkara Ahok hendak diterukan, maka dia akan dijerat dengan 2 pasal ini.

Pertama, Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:


Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:


a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Ancaman pidananya adalah penjara paling lama 5 tahun.

Kedua, Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi:


Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ancaman pidananya adalah penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Perlu dicatat, bahwa Revisi UU ITE mulai diberlakukan per Senin, 28 November lalu. Dalam revisi itu, ancaman pidananya berubah menjadi paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 750 juta. Tapi, perubahan ini tidak berlaku surut sehingga ak berlaku untuk kasus Ahok.

Melihat pasal-pasal yang akan dipakai, tampaknya masih lemah untuk menjerat Ahok.

1. Pasal untuk Penyebar
Pasal 28 ayat 2 UU ITE sebetulnya ditujukan kepada orang yang penyebar kebencian melalui berbagai medium di Internet, misalnya Facebook atau Twitter. Ini terlihat dari subyek dalam kalimat pada pasal adalah "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi...".

Dalam kasus video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, Ahok bukanlah penyebar video tersebut. Yang meyebarkan adalah Buni Yani. Itu sebabnya Buni Yani telah ditetapkan sebagai tersangka, meskipun masih bisa diperdebatkan apakah Buni Yani pas dijerat dengan pasal yang sama.

2. Pidato Ahok bukan di Dunia Cyber
Kalau yang dimaksud jaksa adalah pidato Ahok dianggap menyebar kebencian, maka tidak bisa memakai pasal tersebut. Ahok berpidato secara fisik di hadapan orang banyak, bukan dengan live streaming atau menuliskan pidatonya di media sosial atau media apa pun di Internet, sebagaimana dimaksud pasal dalam UU ITE ini.

3. Pasal Penghinaan Agama Tak Bisa Dipakai
Saya sudah menulis panjang tentang masalah pada Pasal 156a KUHP ini. Saya coba ringkaskan bahwa dalam kasus Ahok, pasal ini tidak bisa digunakan karena pasal itu menunjuk pada perbuatan orang di muka umum yang mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

"Artinya kalau kita lihat bahwa pasal 156a itu bahwa perbuatan itu dimaksudkan supaya orang tidak menganut agama apa pun atau tidak menganut suatu aliran apa pun, agama apa pun yang resmi di Indonesia," kata Mahmud Mulyadi, pakar hukum pidana dari Universitas Sumatra Utara, kepada BBC. "Jadi kalau ini seandainya ditarik kepada kasus Ahok saya pikir tidak bisa digunakan pasal ini. Tidak kena dia...karena Ahok tidak ada maksud untuk orang itu berpindah agama," tambahnya.

Indriyanto Seno Adji, guru besar dari Universitas Krisnadwipayana, termasuk salah satu saksi ahli yang diperiksa Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI untuk kasus penistaan agama Ahok. Dia termasuk satu dari empat ahli yang berpendapat pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu bukan penistaan agama. "Dalam kasus ini, bagi saya unsur penistaan belum ada," kata Indriyanto kepada Majalah Tempo edisi 21 November 2016. "Kasus ini dimensi politiknya kuat," kata dia.

Kita khawatir bila penegak hukum akhirnya mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan politik yang kental, bukan pertimbangan hukum yang rasional dan independen, maka kewibawaan hukum Indonesia telah digerogoti. Orang nantinya sangat mudah dihukum dengan pasal-pasal yang dipaksakan. Hari Ahok, besok entah siapa lagi.

Update tanggal 30 November 2016 pukul 16.42 WIB
Saat pengumuman tadi siang, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Noor Rachmad, mengatakan pasal yang dikenakan terhadap Ahok sesuai dengan berkas perkara yang diserahkan penyidik Polri, yaitu Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

Ahok tidak dikenai Pasal 28 ayat 2 UU ITE. "Fakta-fakta yang terungkap dari hasil penyidikan di berkas itu menggambarkan bahwa perbuatannya hanya dapat dijerat dengan Pasal 156 dan 156a KUHP," ujar Rahman. "Kalaupun menggunakan UU ITE, tentu harus dilihat, apakah ada di berkas itu."

Melihat perkembangan ini, maka analisa mengenai pasal 28 ayat 2 UU ITE di atas dengan sendirinya gugur dan mohon diabaikan.


Tempo.co 


loading...

Comments

Post a Comment